Dimuat di JAWA POS, 2 Mei 2021
Catatan Kongres Aksara Jawa I
Sebagian besar orang menilai megahnya sebuah acara dari pembukaan atau perhelatan hari pertama. Apalagi acara yang melibatkan lembaga negara. Begitu pula dengan Kongres Aksara Jawa I yang digelar di Yogyakarta 22-26 Maret 2021 dibuka dengan megah. Meskipun berbentuk daring dan sebagian kecil luring, tanpa pawai atau konser, namun hadirnya sambutan tokoh-tokoh besar dalam pembukaan kongres lalu memantaskan kemegahan dan kemewahannya.
Acara dibuka oleh sambutan daring Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Kemudian 2 Gubernur, Sri Sultan Hamengkubuwana (DIY) dan Ganjar Pranowo (Jateng), serta perwakilan dari UNESCO, Dr. Ming Kuok Lim. Rata-rata isinya menyambut gembira dan menyatakan harapan lestarinya aksara Jawa. Ming Kuok Lim bahkan memasukkan aksara Jawa sebagai salah satu dari 5 aksara terindah di dunia.
Ketika saya posting di medsos kegiatan sebagai anggota KAJ I, banyak kawan bertanya, “aksara Jawa mau diapakan?”. Pertanyaan yang senantiasa menghampiri saya dan jawaban template saya, “Agar tetap ada”. Tentu saja itu adalah lontaran pribadi, misal ketika orang menanyakan apa tujuan saya secara swadaya menggelar Kelas Aksara Jawa dengan komunitas Jawacana di Jogja.
Namun, jika pertanyaan tersebut dilontarkan pada KAJ I ini, maka muncul jawaban mulia tujuan utama kongres, agar aksara Jawa bisa dibawa ke platform digital dengan lebih baik. Visi digitalisasi agar masyarakat bisa dengan mudah menggunakan aksara Jawa dalam perangkat digital; mengetik di komputer dengan aksara Jawa, mengirim pesan lewat gawai, posting medsos, seperti huruf Kanji, Arab, India, yang lazim kita temukan di perangkat digital sehari-hari kita. Sesederhana itu.
Tapi untuk tujuan sesederhana itu, membutuhkan proses rumit dan sidang kongres. Mekanisme agar aksara Jawa bisa secara otomatis muncul sebagai pilihan papan ketik (keyboard) di gawai, memerlukan lisensi dari ISO (International Standards Organization). Sebelum ke ISO, mesti mendapat lisensi nasional dari BSN (Badan Standarisasi Nasional) yang akan mengeluarkan label SNI (Standar Nasional Indonesia). Salah satu tugas sidang kongres yaitu mengajukan rancangan tata letak keyboard aksara Jawa yang baku dan standart. Berarti harus menginput semua simbol yang ada dalam aksara Jawa.
Simbol-simbol ini tidak seringkas hanacaraka berjumlah 20 seperti yang biasa kita kenal. Ternyata banyak sekali macamnya, misalnya simbol tirta tumetes, pada piseleh, pada adeg, yang terbilang langka untuk sebagian besar orang. Semua simbol yang ada tersebut harus terdaftar Unicode. Unicode adalah standar teknis yang dirancang untuk mengizinkan teks dan simbol dari semua sistem tulisan di dunia untuk ditampilkan dan dimanipulasi secara konsisten oleh komputer.
Pada titik inilah kepelikan sidang kongres terasa. Untuk mendaftarkan semua simbol aksara Jawa ke Unicode, ternyata butuh hal paling mendasar dari sebuah sidang, yaitu kesepakatan. Selama 5 hari sidang, muncul debat renyah akan simbol apa dan mana yang benar dan salah, antar penganut mazhab aturan tata tulis aksara Jawa.
Dalam perkembangannya paling tidak kita ketahui beberapa aturan tulis aksara Jawa. Pertama, Mardi Kawi, wewaton yang bisa dikatakan paling tua tentang tata tulis aksara Jawa Kuna (Kawi). Berikutnya wewaton Sriwedaren hasil kongres di Sriwedari Solo tahun 1922 dan 1926, yang digagas aliran pembaharu pengganti Mardikawi. Ketika Indonesia merdeka dan dianggap perlu mengikuti perubahan jaman, muncul Pedoman Penulisan Aksara Jawa yang lebih sederhana dan ringkas hasil Kongres Bahasa Jawa tahun 1991, 1996, 2001, 2006 yang disetujui oleh 3 gubernur pada saat itu, DIY, Jateng, Jatim, atau dikenal dengan wewaton KBJ yang umum kita terapkan di pelajaran sekolah dulu kala.
Sidang KAJ memunculkan dinamika 2 kubu. Yang puritan konservatif ingin mengembalikan aturan lama Mardikawi, serta golongan progresif penganut aksara Jawa yang simpel dan ringkas. Masing-masing didukung para ahli, bahkan profesor di bidang sastra dan bahasa Jawa. Pengkubuan yang acap kita temui di segala hal, baik di sidang tingkat RT, sidang agama, hingga sidang politik pejabat.
Syukurlah para pegiat kebudayaan adiluhung ini pada akhirnya berbesar hati untuk ‘sepakat tidak sepakat’ menyikapi perbedaan. Hingga akhirnya diputuskan di sidang pleno penutupan bahwa semua aturan bisa diakomodasi. Aksara Jawa boleh mengikuti gaya tradisional ataupun gaya simpel. Pegiat kebudayaan ternyata lebih berbudaya dalam menyikapi perbedaan.
Setelah sepakat akan aturan tata tulis dan disusun menjadi keyboard (yang hari ini sudah bisa diterapkan langsung di gawai OS Android dan iOS anda), hal berikutnya yang turut menjadi cita-cita adalah KAJ melahirkan rekomendasi untuk regulasi pemerintah akan penggunaan aksara Jawa di lapangan atau kehidupan sehari-hari. Paling tidak di wilayah penggunanya DIY, Jateng, Jatim.
Di sinilah saya harus berbesar hati dalam berharap. Pihak kunci untuk mencapai tujuan ini adalah pemerintah. Impian melihat aksara Jawa betebaran di jalanan di kota-kota di Jawa, seperti betebarannya aksara lokal di Bangkok, Tokyo, Shanghai, Bombay, hanya bisa tercapai dengan regulasi dan kebijakan tepat dari pemerintah.
Semoga saja pidato-pidato sambutan visioner para pejabat dalam pembukaan KAJ I itu bukan sekadar ‘gebyar ngarep, peteng mburi’ sebagai hiasan seremonial, tipikal gerakan pemerintah yang sudah-sudah. Yang sering hanya fokus di peresmian beserta embel-embel slogannya, namun kadang lupa merawat kerja dan cita-citanya.
Paksi Raras Alit
Seniman dan pegiat budaya Jawa
Anggota KAJ I