Dimuat di JAWA POS, 20 September 2020

Sejam sebelum sebuah pementasan, walkie-talkie (HT) panitia bising dengan istilah-istilah teknis asing: ’’terjadi bottleneck user yang login’’, ’’link streaming down!’’, ’’server dari Amerika trouble’’ (padahal panggungnya ada di Jogjakarta).

PERKARA-perkara baru itu tiba-tiba menggantikan kegaduhan pra-event biasanya seperti: ’’penonton membeludak, jumlah kursi kurang’’, ’’tamu undangan VVIP sudah hadir dan butuh akses parkir khusus’’, ’’calo tiket terpantau nekat beroperasi di depan loket.’’

Pentas daring atau panggung virtual. Frasa baru dalam seni pertunjukan. Akrab terdengar di dunia seni 5–6 bulan belakangan ini. Upaya kreasi mutakhir para pelaku seni pertunjukan sebagai jawaban dalam merespons tantangan pandemi Covid-19. Agar tetap punya ruang bagi para pelaku dan penikmatnya, panggung seni dituntut melakukan inovasi.

Di dalam penyelenggaraan event seperti musik, teater, tari, maupun panggung seni tradisi seperti ketoprak, ludruk, jatilan, dan lainnya, pentas dalam format daring atau virtual adalah upaya daya juang dan daya hidup kesenian. Perubahan ini jadi pilihan paling memungkinkan. Di tengah pandemi yang mengakibatkan pembatasan pada aspek-aspek pertunjukan seperti pelarangan izin kerumunan penonton panggung, batasan kegiatan di luar ruangan, seniman ramai-ramai bersepakat untuk beradaptasi dengan pandemi ini dalam melangsungkan hajat hidup kesenimanannya.

Pertunjukan seni mesti ’’jalan terus’’ dengan konsekuensi kompromistis. Setidaknya ’’alasan perut’’ menjadi kalimat ampuh untuk memotivasi. Tidak hanya perut seniman sebagai penampil, di dalam pentas juga terlibat perut-perut lain yang meronta pula. Kru panggung, tukang sound dan lighting, tukang rias, penjahit kostum, bahkan sampai penjaga genset, isi lambungnya digantungkan dari pementasan.

Sempat diwacanakan bahwa alih profesi adalah ’’solusi ekonomi’’ di tengah pandemi. Jadi pedagang kuliner online, misalnya. Tapi, kenyataannya tidak semudah itu. Walaupun dalam agama disabdakan bahwa berdagang adalah pekerjaan terbaik, tidak semua orang mampu beralih profesi jadi pedagang yang laris. Para pelaku pentas seni di atas memilih untuk alih media seni daripada alih profesi.

Adaptasi adalah kunci. Yang paling kentara dalam seni pertunjukan daring misalnya adalah ketidakhadiran penonton. Kemudian karena berformat virtual dan ditayangkan di kanal-kanal digital dengan produksi rekaman audio visual, para penampil di panggung harus kompromi dengan kebutuhan teknis kamera video, editing, dan streaming. Para pekerja EO yang biasanya repot mengurusi venue sebesar stadion dengan segala tetek bengeknya mau tidak mau harus setup venue virtual seperti website, YouTube, live Instagram, atau Facebook dengan baik agar accessible bagi penonton. Durasi pertunjukan juga lalu jadi pertimbangan agar tidak membebani kuota pulsa penonton, yang mana di negara ini kuota dan kelancaran jaringan internet masih jadi masalah. Jangan sampai sudah setiap pagi kuota dikuras untuk sekolah daring, malamnya masih dihabiskan untuk nonton seni.

Memang bukan tugas yang mudah. Namun, bukankah sudah jadi kodrat pelaku dunia kreatif, apalagi orang yang menahbiskan dirinya sebagai seniman, bahwa menyikapi keterbatasan dan merespons perubahan dengan kreasi yang inovatif adalah keniscayaan.

Bagi penonton, proses alih media ini juga menjadi sebuah pembelajaran baru dalam menikmati karya seni. Tidak usah khawatir dan nyinyir dulu akan perubahan ini. Percayalah, dengan pikiran yang terbuka kita akan mampu menghadapinya bersama-sama. Siapa tahu kelak bentuk pentas daring ini justru menjadi alternatif tontonan seni yang menarik.

Sejarah telah membuktikan bahwa kita mampu menyikapi peralihan media seni dengan sukses. Ketika listrik masuk negara kita, lalu radio dipasarkan, pentas-pentas dagelan, ketoprak, ludruk, wayang, karawitan, bisa dengan sukses beralih media ke radio. Bayangkan, kesulitan penonton saat itu ketika harus mengimajinasikan tampang dan kostum raja dalam lakon ketoprak hanya lewat audio. Wayang kulit semalam suntuk bisa kita nikmati di radio tanpa visualisasi sabetan dalang dan paras ayu sindennya. Srimulat juga dengan sukses menghadirkan alih media panggung lawak dalam bingkai televisi.

Alih media tersebut justru menuai benefit bagi industri seni pertunjukan. Dari segi ekonomi, iklan sponsor masuk, jangkauan penonton lebih luas, seniman lebih kondang, honor naik daripada pentas di panggung yang ruang waktunya terbatas.

Pengalaman tersebut mengajarkan bahwa inovasi menimbulkan dampak positif dalam ekosistem seni pertunjukan. Memanfaatkan teknologi ternyata mampu membawa angin segar dan kesejahteraan dalam dunia seni, jika ukurannya adalah angka-angka dalam rekening seperti yang kerap dijadikan acuan kesuksesan oleh masyarakat. Dengan mengoptimalkan YouTube saja sebagai kanal alih media seni, kita ketahui banyak sekali pelaku seni menjadi miliarder dadakan saat ini. Belum lagi dengan tidak terbatasnya jangkauan dan jumlah penonton di dunia maya, penyelenggara bisa saja menjual tiket pertunjukan daring sebanyak-banyaknya tanpa perlu memperhitungkan jumlah kursi di gedung pertunjukan.

Perubahan itu keniscayaan, cerdik menyikapinya adalah keuntungan. Tidak jadi soal seni pertunjukan kompromi dengan panggung virtual yang terbarukan. Sampai-sampai muncul kelakar di antara kami bahwa seniman yang survive di masa pandemi ini adalah seniman yang mau YouTube-an. Haha… (*)

PAKSI RARAS ALIT, Pelaku seni daring, ketua FKY yang tahun ini virtual di www.fkymulanira.com