Dimuat di Jawa Pos, 20 Mei 2023
Manusia selalu gamang melihat masa depan. Kerisauan akan hal-hal yang belum terjadi menelurkan asumsi dan prediksi. Upaya manusia dalam menafsirkannya menetaskan kerja-kerja produktif bermotif inovasi, namun sekaligus debat-debat kusir yang kadang berujung perseteruan oleh sesama pihak yang sebetulnya sama-sama mencemaskan hal yang sama, yakni sesuatu yang belum terjadi.
Salah satu kerisauan manusia hari ini adalah hadirnya robot yang dikhawatirkan membawa kepunahan manusia. Kepunahan bukan saja berarti musnah secara ragawi, tapi juga “kematian” pemikiran dan kerja-kerja manusiawi yang digantikan oleh robot.
Biangnya adalah kemunculan chat bot (mesin percakapan) ChatGPT yang dirilis oleh OpenAI pada bulan November 2022. Mesin penjawab pertanyaan ini bisa dengan seketika mereka jawaban dari user, berbasis teks, layaknya dialog atau tanya jawab dua orang. ChatGPT bahkan bisa diminta mengarang puisi, cerpen dan menjadi teman diskusi tentang hakikat kritik sastra.
Memang kemudian “penulis AI” ini ditelisik kelemahannya oleh kawan-kawan penulis. Di antaranya peluang AI disusupi oleh informasi-informasi palsu dan sesat, atau bahkan cabul, sesuai kehendak programmernya, di tengah rendahnya literasi masyarakat yang hari ini cenderung malas untuk melakukan uji informasi atau tidak kritis menganalisis informasi. Semua informasi yang cepat dan melimpah (viral) dianggap sebagai kebenaran, tanpa perlu melakukan konfirmasi faktual. Kondisi inilah yang mungkin dimanfaatkan oleh robot dengan agenda atau kepentingan tertentu.
Selain itu, para penulis “konvesional” juga membela diri dengan menyebut bahwa manusia memiliki keunggulan yang tak mungkin tergantikan oleh AI, yakni sifat manusiawi itu sendiri. Manusia memiliki jiwa. Kejiwaan manusia dalam seni dan sastra melahirkan imajinasi, fantasi, emosi, filosofi, empati. Nilai-nilai kemanusiaan tersebut dianggap sebagai keunggulan dalam menghasilkan karya dengan kedalaman cerita. Tulisan yang mengandung pesan-pesan humanis, karangan menyentuh yang memberikan imersi (keterbenaman) pembaca dalam imajinasi, serta kehadiran nuansa sastrawi dalam kata-kata indah yang menghadirkan perspektif pemikiran yang beranekaragam (unik, kritik, cantik) dalam melihat suatu peristiwa.
Kesalahan yang Indah
Imajinasi “rohaniah” itu barangkali belum bisa digantikan mesin. Meskipun, intelejensia buatan mampu meminimalkan atau bahkan menghapuskan human error. Akan tetapi, bukankah “kesalahan” terkadang justru menjadi hal yang indah di tangan seniman? Bukankah terdapat jargon agung (nan jumawa) “tiada yang salah dalam seni”? Kesalahan dapat direkayasa sedemikian rupa dalam ekspresi estetis oleh seni.
Kesalahan dalam menangkap suatu peristiwa, bisa jadi tawaran cara pandang baru dalam pemaknaan. Tengok saja contohnya, “kesalahan-kesalahan” asumsi (bisa jadi dikarenakan data yang tidak tepat dan akurat) dalam memaknai peristiwa reformasi 98, justru menghasilkan karya-karya sastra kanonik. Puisi-puisi Wiji Thukul misalnya. Karya tersebut tercipta dalam kelindan dinamika data dan tafsir peristiwa 98 yang bias dan kabur, yang masih simpang siur siapa yang benar dan salah hingga 25 tahun setelahnya.
Sifat manusiawi pengarang juga memiliki keunggulan dalam dalam hal penggunaan bahasa, yaitu metafora dan metonimia untuk menyampaikan sekaligus menyembunyikan maksud tertentu. Fakta tentang suatu hal yang salah, kadang kala tidak bisa langsung diungkapkan sebagai kesalahan. Secara moral berbingkai norma sosial terkadang kebenaran tidak bisa to the point diinformasikan. Ada “seni jalan melingkar” dengan rekayasa bahasa untuk menyampaikan pesan.
Contoh karya sastra dalam fungsinya sebagai medium kritik sosial. Banyak sekali lahir karya yang mengandung misi kritik terhadap kesewenangan penguasa. Rekayasa bahasa berbentuk sindiran, sarkasme, humor, satir, dan majas-majas lain digunakan demi mengungkapkankejujuran dan kenyataan, tapi dengan “bahasa yang bersih”, agar pengarang tetap bisa berkarya mengelabui norma sosial (opresi penguasa). Barangkali jika kritik-kritik itu dilakukan oleh AI, yang mekanisme kerjanya adalah men-generate “bank data” informasi, estetika sindiran itu akan menjadi pernyataan-pernyataan lugas berbasis fakta dan prediksi yang akurat. Masyarakat akan kehilangan percikan imajinasi sastrawan yang mengarang di bawah ketakutan, ketegangan, pelarian, kemiskinan, seperti Wiji Thukul, yang mana tekanan-tekanan padanya justru menghasilkan keindahan. Bukankah robot tidak bisa takut, tidak bisa lapar, tidak bisa miskin?
Memang meributkan hal yang belum terjadi selalu renyah tapi juga konyol, karena faktanya karya sastra konvensional masih relatif aman diproduksi dan dipasarkan. AI juga diramalkan masih belum terlalu mengancam kesusastraan Indonesia dalam beberapa tahun ke depan.
Tapi, dasarnya manusia selalu seperti itu, cenderung skeptis akan teknologi. Seperti halnya dalam sejarah kesusastraan tentang resistensi para pemahat prasasti dan penggurit lontar dalam menyikapi lahirnya teknologi kertas dan tinta. Pernah pula dalam sejarah sastrawan handwriting resah melihat tuntutan akselerasi produksi mesin cetak. Juga saat penulis gagap menyikapi komputer dan printer, serta beberapa waktu lalu saat penulis dan penerbit risau dengan kehadian sastra siber, di mana semua orang bisa menulis dan menerbitkan sastra, seperti dalam Wattpad misalnya.
Mestinya kita belajar dari filsafat Jawa kuna dalam menghadapi hal baru, yaitu aja gumunan, jangan heboh. Kalau menurut filsafat kontemporer, berpikirlah secara ontologis. Pelajari hal baru dengan seksama, kenapa bisa muncul, lalu temukan kemungkinan-kemungkinan celah yang justru bisa dimanfaatkan. Jika itu dilakukan, maka sekali lagi dalam peradaban para penulis akan berjodoh dengan teknologi.
Hampir semua teknologi, selain membawa daya cipta, juga membawa daya rusak saat digunakan berlebihan. Apabila AI memiliki modal intelejensia untuk menghasilkan tulisan serba cepat dan akurat, barangkali di masa depan manusia justru makin limbung dengan melimpahnya informasi yang serba cepat, lalu merindukan bacaan yang santai, imajinatif, membaca (lagi) koran dengan tulisan yang dalam, menikmati lagi karya-karya yang alon-alon waton sastrawi.
Paksi Raras Alit
Seniman tinggal di Jogja