Dimuat di JAWAPOS, 21 Desember 2022
Istilah kanca wingking di atas bukan bermaksud menegaskan penindasan perempuan. Tulisan ini justru ingin menawarkan pemaknaan ulang yang lurus sesuai konsepsi Jawa.
Menurut kamus Jawa, kanca wingking adalah “teman yang ada di belakang”. Tapi, apalah arti kamus. Kamus hanya menyediakan arti, tidak menyediakan makna. Celakanya, arti kanca wingking terlanjur digoreng maknanya oleh para patriarkis, pemuja kejantanan, dengan makna yang sangat tekstual sesuai terjemahan, tidak kontekstual. Sehingga, makna ibu sebagai kanca wingking terjerumus dalam jerat ibu yang tertindas, tersubordinasi, sebagai sosok yang hanya “di belakang”. Masak di dapur, pasrah di kasur.
Makna itu perlu didekonstruksi. Bila menurut Derrida, filsuf Perancis, sebuah makna bahasa tidak boleh diartikan dalam kebenaran tunggal, atau sederhananya kita mesti menunda memfinalkan pemaknaan akan suatu hal, maka kanca wingking perlu dikritisi. Kritis dalam hal ini bukan berarti mencari kesalahan dengan lantang, seperti kritik yang galak di medsos, namun cara berpikir kritis yang selalu berupaya mencari perspektif lain dalam menyikapi sesuatu.
Kanca wingking adalah frase Jawa, maka selayaknya dimaknai dari sudut pandang budaya penciptanya, yakni cara Jawa. Kanca wingking versi filsafat Jawa justru merupakan sosok perempuan/ibu yang berkuasa.
Sebelum ke sana, perlu kita memahami sekilas mengenai konsep kekuasaan Jawa. Konsep ini bertentangan dengan konsepsi Barat yang modern, atau konsepsi agama yang hierarkis dalam memandang perempuan.
Kekuasaan Jawa bukanlah tentang wajib menang, unggul, memimpin, seperti kekuasaan a la Barat. Dalam budaya Jawa, berkuasa adalah tentang menjaga keseimbangan, kadang kuat dan menang, kadang mengalah, menahan diri, bahkan menderita. Sederhananya berkuasa juga tentang ngalah iku gedhe wekasane (mengalah itu menang), sabar lan nrima (sabar dan sadar menerima penderitaan), mengontrol rasa. Puncak dari mengolah rasa dalam kekuasaan adalah mengendalikan diri dan lingkungan demi terciptanya tentreming manah (hati yang tenteram), serta dunia yang selaras dan harmonis. Konsep ini disarikan dari buku Konsep Kekuasaan Jawa (Moedjanto), Etika Jawa (Frans Magnis-Suseno), dan Kuasa – kata (Benedict Anderson).
Perempuan Jawa sejak dini selalu diajari bersikap lembut, mengendalikan perasaan, menahan diri, tidak mudah marah, tidak berbicara frontal karena dapat merusak keharmonisan, serta secara fisik dan mental lebih siap menahan penderitaan daripada laki-laki. Sejak ibu hamil, dia sudah diajari untuk sabar dalam merawat kehidupan, menahan penderitaan, dan dikondisikan untuk selalu siap memelihara kehidupan.
Peran ibu dalam rumah tangga Jawa tidak hanya mengasuh dan mendidik anak serta mendampingi suami, tetapi juga pada umumnya diperkenankan untuk keluar rumah melakukan kegiatan ekonomi. Cermati, di ruang agraria masyarakat Jawa sudah ada kerja egaliter. Job desk di sawah tandur (penanam) dan pemanen padi dilakukan oleh perempuan. Di ruang urban seperti di pasar-pasar tradisional di Jawa, mayoritas pedagang adalah perempuan. Di ruang modern lebih kentara lagi, sudah ada ibu-ibu Jawa jadi presiden dan ketua DPR.
Dalam konteks keluarga Jawa, Hilderd Geertz (Keluarga Jawa), menegaskan bahwa posisi ibu adalah justru sosok yang paling tepat sebagai pengendali kuasa di rumah. Ibu adalah pusat keluarga, pada umumnya memegang keuangan, cukup menentukan dalam pengambilan keputusan penting, misalnya pilihan sekolah, pekerjaan, dan pilihan jodoh anak-anaknya, pada saat yang kritis, ada bencana alam, biasanya ibulah yang mempertahankan keluarganya, juga secara ekonomis. Keunggulan istri Jawa juga terletak pada kemampuannya dalam kesulitan untuk cancut tali wanda, sebuah konsepsi Jawa yang menggambarkan dalam keadaan terjepit, punya kesigapan sikap untuk terlibat, mengambil peran bahkan komando, taktis menghadapi masalah, tidak hanya ide tetapi juga pelaksanaannya.
Ciri perempuan di atas adalah ciri yang dibutuhkan sebagai pengendali kuasa cara Jawa. Sosok lembut, namun bisa kuat seketika. Jika jeli melihat, hal-hal yang dilakukan perempuan Jawa yang seolah nampak lemah, marginal, nurut suami, bermukim di dapur, dapat dimaknai ulang sebagai sebuah kekuatan tersembunyi.
Mengalah itu lebih melelahkan. Ikhlas menahan diri itu butuh kekuatan lebih besar daripada bereaksi frontal (biasanya laki-laki lebih mudah meledakkan emosi). Semuanya demi keselarasan keluarga. Namun, jika suatu ketika posisi suami sedang tak berdaya, seorang istri dapat langsung maju menggantikan peran suami demi ketahanan keluarga. Seorang ibu dinilai lebih mandiri karena lebih luwes berposisi dan berperan di mana pun, di belakang siap, di depan pun sedia.
Cermatilah, kemandirian seorang ibu yang biasanya lebih survive ketika keluarga menghadapi perceraian atau ditinggal mati suaminya. Janda akan dengan cepat menghimpun kekuatan untuk menjaga dan merawat anak-anaknya sekaligus menjadi ujung tombak perekonomian keluarga. Suami, jika ditinggal mati istri, biasanya akan berantakan hidupnya, atau malah jadi lemah, sakit-sakitan, tidak tahan hidup sendirian, lalu mati.
Budaya Jawa melihat kekuasaan dapat hadir dari hal yang seolah dianggap sebagai ketidakberdayaan dan ketertindasan. Kadang ibu di wingking, seolah tidak setara dengan suami. Tentang kesetaraan, kita juga mesti memakai perspektif Jawa dalam melihatnya. Konsep setara Jawa tidak sesederhana konsep “kesamaan” yang dituntut oleh wacana emansipasi wanita modern yang melihat peran wanita dalam “kepadanan” dasar saja. Makna “kesamaan” Jawa adalah suatu hubungan ”saling melengkapi” untuk selaras.
Peran perempuan Jawa, sekalipun di belakang layar sebagai kanca wingking, tetap mempunyai pengaruh kuat. Menjadi orang yang di belakang itu bukan selalu tidak penting. Kekuatan maha besar kadang justru tersembunyi di belakang. Seperti seorang sutradara yang tidak pernah kelihatan dalam panggungnya sendiri, tetapi dia dapat menentukan siapa yang yang bermain dan jadi seperti apa panggungnya. Maka itu, selamat hari ibu, para sutradara keluarga.
Paksi Raras Alit
Seniman tinggal di Jogja
Mahasiswa Sastra Jawa UGM