Dimuat di JAWA POS, 29 Desember 2019
DI sela Festival Sastra Yogyakarta beberapa waktu lalu, seorang kawan wartawan yang sedang melaksanakan tugas peliputan mengajak ngobrol santai yang ujungnya serius. Tentang posisi sastra Jawa hari ini.
Kawan saya menggebu-gebu mengungkapkan keresahannya akan sastra Jawa yang menurut dia hampir mati dan punah. Tentu saja saya menyanggah.
Obrolan lalu menjadi diskusi yang panjang karena saya selalu punya pendapat yang serius menentang asumsi banyak orang tentang kepunahan sastra Jawa. Sastra Jawa justru sedang berada di puncak kejayaannya, debat saya.
Namun, pertama, harus kita sepakati dulu bahwa ukuran ”jaya” dalam hal ini adalah popularitas, tren, dan kuantitas. Lalu, saya meyakinkan kawan tersebut agar sepakat menganggap lirik lagu sebagai suatu bentuk karya sastra.
Jika hal-hal itu sudah disepakati, ditambah dengan pandangan yang terbuka, layak diakui bahwa hari ini sastra Jawa sedang benar-benar ”meledak.” Bahasa Jawa berbentuk lirik lagu merajai panggung sekelas tirakatan RT hingga festival musik besar di Indonesia.
Bukan hanya di Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai daerah native bahasa Jawa. Panggung-panggung di Jakarta, pulau lain, bahkan hingga televisi terimbas booming lagu Jawa. Deretan sastra Jawa liris seperti Sayang (NDX AKA), Banyu Langit dan Pamer Bojo (Didi Kempot), Kartonyono Medot Janji (Denny Caknan), serta Korban Janji (Guyon Waton) dinikmati segala kalangan.
Petani, buruh, mahasiswa, karyawan, juragan, dan pejabat hafal liriknya. Line-up bintang tamu panggung musik ujung-ujungnya koplo berlirik Jawa. Siapa yang dulu bakal menyangka event musik sebesar Synchronize 2019 dipuncaki Didi Kempot dan NDX AKA dengan hit lagu Jawa sebagai bintang tamu utama.
Fenomena itu sah saja dianggap sebagai indikasi kejayaaan sastra Jawa dalam segi popularitas. Begitu juga dalam ukuran tren dan kuantitas, 2–3 tahun belakangan muncul banyak sekali musisi yang merilis karya lagu berlirik bahasa Jawa.
Sastra dan musik memang erat dan saling melengkapi dalam perkembangannya. Kata lyric berasal dari lyra, nama alat musik di Yunani kuno yang lazim digunakan untuk mengiringi pembacaan puisi pada zamannya. Di sana, kita melihat bentuk awal pertunjukan sastra dalam kemasan musikalisasi. Lalu, lirik berubah makna menjadi untaian kata-kata dalam lagu.
Di Jawa, bentuk sastra Jawa sebagai puisi yang dilagukan sangat mudah kita lacak dalam sejarah. Sejak era sastra kakawin dalam bahasa Jawa kuno, kidung dalam bahasa Jawa pertengahan, hingga macapat dalam bahasa Jawa baru, sastra Jawa disajikan dengan cara didendangkan untuk memperindah tampilannya.
Pada masa itu, kemampuan membaca sangatlah elitis, hanya dikuasai golongan atau kasta tertentu. Maka, proses transfer pengetahuan isi karya sastra Jawa lazim dilakukan dengan cara dibacakan serta didendangkan dalam penyajiannya.
Proses mendengarkan isi sastra yang didendangkan oleh para resi, pandhita, brahmana, atau guru itu disebut nyantrik, belajar lewat mendengarkan. Dari situlah dugaan asal muasal istilah santri menurut Nurcholish Madjid lewat buku Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan.
Perpaduan sastra Jawa dengan musik paling kentara dapat kita saksikan dalam bentuk tembang macapat. Karya puisi Jawa yang ketat aturan metrum guru lagu, guru wilangan, guru gatra itu lalu sering salah kaprah dianggap sebagai karya musik atau tembang oleh masyarakat.
Ketika seni musik berkembang lebih jauh lagi dengan munculnya instrumen musik modern, berubah pula bentuk puisi Jawa dalam bentuk lirik langgam, keroncong, campursari, pop, hiphop, hingga dangdut koplo seperti yang marak belakangan ini.
Kita harus menanggalkan anggapan bahwa kesusastraan Jawa adalah tulisan-tulisan aksara Jawa dalam manuskrip kuno dan berdebu di museum. Puisi Jawa menemukan wadah barunya.
Bentuk, media, dan gaya yang baru merupakan hal lumrah dalam dinamika kebudayaan. Pertemuan antarbudaya niscaya menimbulkan kebaruan. Sastra Jawa ternyata mampu berkompromi dengan gaya dan selera zaman.
Edmund Burke Feldman dalam buku Arts as Image and Idea menuliskan bahwa suatu gaya merupakan pengembangan dari gaya sebelumnya setelah mengalami suatu rangkaian perubahan secara berangsur-angsur. Gaya merupakan cerminan pemikiran dan sikap budaya di masa tertentu.
Sastra Jawa yang dahulu seolah hanya dimiliki bangsawan keraton dan kasta tertentu, dengan ciri kompleksitas bahasa krama dalam gayanya, lambat laun berubah gaya bahasa. Dengan menghadirkan diksi-diksi sederhana, lugas, ngoko, di saat stratifikasi sosial di Jawa kian pudar dan masyarakat mulai membuka diri akan konsep kesetaraan.
Bagaimana kualitas atau estetika gaya baru tersebut? Sebab, syarat utama karya sastra adalah tulisan dengan gaya bahasa yang literer dan estetis. Apakah gaya bahasa yang ngoko dan lugas dalam lirik sastra Jawa masa kini bisa dikategorikan tulisan yang indah?
Banyak kritik mengatakan bahwa lirik lagu bahasa Jawa sekarang ini merusak paugeran sastra Jawa yang adiluhung. Sastra Jawa lampau yang sarat piwulang atau ajaran-ajaran moral sangat berlawanan dengan isi sastra Jawa masa kini yang kadang hanya dianggap romantika patah hati picisan. Dengan diksi yang bahkan tidak ragu mengandung pisuhan atau kata-kata kotor yang cenderung porno. Misalnya, beberapa lirik lagu NDX AKA dan Jogja Hip Hop Foundation.
Mungkin selera zaman memang sedang menuntut gaya tersebut. Mestinya kita saksikan saja dulu gaya sastra Jawa kekinian itu, apakah teruji konsistensinya. Estetis atau tidak itu cuma masalah waktu.
Serat Centhini yang di beberapa bagian lebih ”jorok dan porno”, yang bahkan sempat dianggap tabu, ternyata hari ini dielu-elukan sebagai karya sastra Jawa yang agung. Berarti kita juga tidak boleh buru-buru menghakimi karena mungkin saja lirik Bojo Ketikung atau lirik-lirik JHF yang misah-misuh itu suatu saat nanti dikaji mahasiswa sastra Jawa 100 atau 200 tahun lagi dan dianggap sebagai peninggalan sastra Jawa yang adiluhung. (*)
*) Alumnus Sastra Jawa UGM, ketua Festival Kebudayaan Yogyakarta