Dimuat di detik.com Selasa, 24 Mar 2020

Jakarta – Pada hari-hari pertama dikeluarkannya anjuran work from home di beberapa daerah, saya masih sempat jajan jagung bakar di salah satu sudut pasar tradisional di Jogja. Aktivitas yang sebenarnya tidak bijak berkaitan dengan pencegahan penyebaran pandemi. Namun juga belum tentu salah karena memang sampai tulisan ini dibuat belum ada dhawuh dari raja yang merangkap gubernur kami di Jogja guna menetapkan status KLB di kota ini, meskipun kota tetangga, Solo sudah memberlakukannya.

Sebagai masyarakat yang sejujurnya bingung, pada akhirnya yang muncul adalah kesimpangsiuran penerimaan informasi akan situasi darurat ini. Kesimpangsiuran informasi akan menghadirkan ketidakakuratan data. Data yang tidak akurat akan memunculkan asumsi pribadi, yang ujungnya mendistorsi data bahkan fakta. Hal tersebut yang terkadang membentuk logika berpikir beberapa golongan masyarakat yang tingkat kemampuan mengakses informasinya berbeda-beda.

Wajib kita akui bahwa tidak semua masyarakat memperoleh sebuah informasi dengan cepat, tepat, dan akurat. Anda yang membaca artikel ini termasuk golongan masyarakat penerima informasi dengan cepat karena melek internet. Bolehlah kita disebut golongan yang up to date akan informasi berkaitan pandemi ini, meskipun tingkat ketepatan dan keakuratannya masih perlu dipertanyakan. Lalu, bagaimana dengan masyarakat yang tidak melek internet?

Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia pada 2019 menyatakan bahwa baru sekitar 64% penduduk Indonesia melek internet. Artinya dari 260-an juta orang, ada sekitar 90-an juta orang yang tidak melek internet. Bagaimana cara mereka menghadapi kesimpangsiuran informasi Covid-19 ini?

Tukang jagung bakar yang saya beli sore itu bahkan menyatakan tidak takut corona dan yakin virus tersebut tidak akan merebak di Jogja. Sembari antre, saya memang menguping diskusi renyah antara tukang jagung, tukang gorengan di sebelahnya, dan tukang parkir dalam membahas corona.

Saya menuduh mereka golongan masyarakat yang tidak melek internet. Karena pembahasan mereka tentang pandemi ini menghadirkan sudut pandang lain selain yang acap kita temui di medsos yang cenderung aktual dan faktual.

Pendekatan agama diwacanakan oleh tukang jagung bakar. Pandemi ini disikapi sebagai cobaan iman bagi umat. Petuah kepasrahan akan kematian menjadi landasan sikapnya yang santuy menghadapi marabahaya. Bahkan kelakar tentang sosok Dajjal di balik wabah ini juga muncul.

Sebenarnya wacana agamis akan virus ini sudah merebak di medsos, dan netizen juga sudah menunjukkan aneka reaksi. Pendekatan agama memunculkan logika lain dalam menyikapi pandemi ini selain logika sains dan medis.

Berbeda dengan sikap tukang gorengan. Dia menggoreng wacana tentang mitos dan takhayul pageblug di Jogja. Dalam bahasa Jawa, pageblug adalah terminologi untuk mendefinisikan sebuah penyakit yang menyerang penduduk dalam skala luas dengan tingkat kematian yang cepat. Kisah tentang pageblug senantiasa dibarengi narasi mitos atau takhayul di sekitarnya.

Di Jogja masih sangat kental sinkretisme agama-mitologi. Masyarakat masih menyepakati narasi-narasi tentang mitologi di hampir segala aspek kehidupan, dan hal tersebut menjadi tradisi yang salah satunya membentuk kebudayaan Jogja.

Menurut tukang gorengan, pertanda pageblug corona ini telah diramalkan bersamaan dengan pertanda alam yaitu melintasnya lintang kemukus (komet atau benda langit yang melintas) di atas langit Jogja. Memang pada 16 Maret dini hari sekitar pukul 01.00 tampak meteor (fire ball) melintas di atas langit Jogja.

Beberapa saksi mata menyatakan bola api tersebut terbang diiringi suara gemuruh. Menurut penjelasan ahli yang lalu mengklarifikasi di beberapa surat kabar, meteor yang melintas di langit sering diiringi dentuman sonik yang merambat sebagai gelombang akustik.

Namun tukang gorengan terlanjur mantap mempercayai bahwa meteor tersebut adalah lintang kemukus yang biasanya muncul sebagai pertanda datangnya suatu bencana. Dia lantas menceritakan beberapa kejadian serupa mengenai sejarah pageblug di Jogja atau di kerajaan Mataram yang bersumber dari kisah tutur turun temurun.

Si tukang parkir lalu nimbrung, mengembangkan narasi mitos tersebut dengan pendapatnya bahwa kraton tidak akan tinggal diam. Legitimasi kraton sebagai “benteng mitologi” memang mengakar kuat dalam tradisi masyarakat Jogja.

Dalam sejarah Jawa memang tercatat beberapa kali kraton melakukan prosesi ritual untuk menanggulangi keadaan darurat seperti bencana wabah. Misalnya dengan mengkirabkan pusaka mengelilingi wilayah yang dilanda pageblug, perintah mengolah jenis bahan makanan tertentu untuk dikonsumsi warga agar terhindar dari bencana, dan prosesi lainnya yang bertujuan tolak bala atau menangkal bencana.

Di dalam masyarakat Jawa juga melekat tradisi ilmu titen, yaitu mengamati anomali atau kejadian di luar kebiasaan alam atau lingkungan yang dianggap sebagai sanepa atau pertanda akan suatu kejadian. Misalnya pohon beringin alun-alun tumbang, bentuk awan yang aneh, termasuk juga lintang kemukus pertanda datangnya pageblug tadi. Maka otha-athik gathuk atau cocokologi lalu menyeruak dalam opini masyarakat Jawa dalam mengaitkan pandemi Covid-19 dengan mitos.

Menurut antropolog Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1976), orang Jawa seringkali menciptakan mitos atau legitimasi melalui alam gaib untuk menerangkan sesuatu di luar akal sehat. Logika tersebut tidak serta merta bisa dipersalahkan karena memang masyarakat Jawa pada ruang dan waktu tertentu belum mendapatkan penjelasan lain selain berpijak pada hal-hal tersebut.

Logika agama dan logika mitos tersebut adalah yang paling mudah dijadikan landasan berpikir masyarakat yang tidak mendapatkan kejelasan informasi yang lebih ilmiah dari internet tentang pandemi ini. Agama seolah menjadi candu yang menenangkan pikiran dan perasaan masyarakat dalam menghadapi masalah. Dan, legitimasi mitos dirasa lebih mudah didiskusikan masyarakat daripada dipusingkan dengan data-data saintis dan medis yang bertebaran tidak terkendali serta membutuhkan klarifikasi ahli yang kompeten.

Berhadapan dengan kondisi golongan masyarakat yang seperti itu semestinya pemerintah beserta stakeholder yang menangani bencana pandemi ini dengan sigap dan cepat hadir memberikan penjelasan dan keterangan sesuai dengan karakteristik masyarakat tersebut. Masyarakat yang berjarak dengan media informasi internet tersebut membutuhkan sosialisasi dengan bahasa yang lebih membumi sehingga mampu diterima dengan tepat.

Misalnya tentang social distancing menyikapi pandemi di pasar tradisional; sosialisasi dalam media konvensional berujud poster, spanduk; penyuluhan dengan pengeras suara di kampung-kampung; bahkan seekstrem dhawuh atau sabda raja dalam bentuk maklumat yang mampu mengikat kepatuhan masyarakat hingga ke tingkat RT.

Kita tidak boleh berasumsi bahwa video dari Nadiem Makarim atau Najwa Shihab tentang cuci tangan dan social distancing akan sampai ke golongan masyarakat tersebut. Karena pada kenyataannya timbul logika-logika lain yang hadir dalam masyarakat yang tidak melek internet itu.

Kita juga tidak boleh beranggapan menyamakan kondisi masyarakat kita dengan rakyat di China, Italia, Korea, atau negara lain yang mungkin saja tingkat kemampuan mengolah informasinya berbeda serta sudah terlatih dan terdidik akan proses mitigasi bencana dengan lebih baik.

Golongan masyarakat yang kental dengan logika agamis-mistis ini juga merupakan bagian rakyat yang wajib diayomi dan dilindungi. Mereka berhak mendapatkan informasi yang tepat dan akurat agar bencana pandemi ini berada dalam kontrol yang baik dan tidak semakin memburuk. Mereka adalah kita.

Paksi Raras Alit seniman, tinggal di Jogja